Aku
punya cerita, tentang sebuah kisah. Bukan tentang mereka, tapi tentang kita.
Tentang kita yang menjadi sorot cerita. Aku tidak pandai merangkai kata, untuk
dipadukan menjadi sebuah cerita. Tetapi, bisakah? Bisakah dengan ingatan
tentang kenangan kita, aku menjadi seorang yang bercerita? Tidak untuk waktu
lama, tapi untuk sekali ini saja.
Aku
ingin bercerita tentang kita yang tidak biasa, kepada orang-orang yang mungkin
akan menjadi pembaca setia cerita bodoh ini sampai tutup cerita. Bukan aku yang
sejak lama mencoba bercerita, tetapi selalu gagal aku bercerita…
“Hai
sahabat-sahabatku!” Bukankah itu kalimat yang baik untuk menjadi awalnya? Aku
ingin sekali bercerita tentang keegoisan kita membentuk kata sahabat di
tengah-tengah kita yang jelas sangat berbeda. Ya, aku tahu mungkin kita memang
tidak seperti yang lain selalu terlihat bersama. Tetapi, bisakah kita
pertahankan kata sahabat tetap ada di tengah-tengah keegoisan kita?
Kalian
tahu? Sudah berkali-kali aku gagal dalam sebuah hubungan persahabatan, mungkin
aku yang egois atau juga mungkin aku yang tidak menyadari arti penting mereka
sebelumnya. Sejak awal, aku sudah berkata kepada kalian untuk tidak meneruskan
niat konyol kita. Ups, mungkin bukan aku yang pernah berkata, tetapi hatiku.
Sayangnya, suara hatiku tidak pernah terdengar oleh indra kalian. Aku hanya
takut. Takut semuanya terulang. Kalian tahu? Perasaan sakit yang dirasakan oleh
orang yang mulai yakin dan percaya kepada seseorang lalu kepercayannya dirusak
dengan mudahnya? Baiklah, sekali lagi aku akan bercerita.
Semua
selalu memiliki awalan dan akhiran. Untuk memiliki sebuah kenangan, pastilah
memiliki awal kisah. Dan ini kisahku, kisah seorang gadis yang selalu
dikecewakan oleh ikatan persahabatan. Takut ini, takut itu, karena selalu
memandang status ikatan. Kalian sekali lagi tahu? Aku dikecewakan oleh
seseorang yang jelas sudah membuatku mulai yakin. Kalian sekali lagi tahu juga?
Bagaimana cara orang itu menghancurkan perasaanku? Tidak seberapa, memang.
Tapi, jelas itu baginya. Tidak untukku, mantan sahabatku.
Benarkah?
Apakah aku tadi menulisnya? Mantan sahabat? Aneh, bukan? Mungkin, beberapa
orang mengira bahwa kalimat tersebut benar karena memang ada orang terdekatmu
yang sekarang sudah hilang entah kemana. Kedekatan kalian dimakan waktu?
Dimakan kebencian? Dimakan keegoisan? Atau seluruh yang tadi aku sebutkan?
Bagiku, seharusnya sahabat akan terus menjadi sahabat, meski pada kenyataannya
tidak selalu begitu. Tapi, apakah kalian bisa dengan mudahnya melupakan
kenangan dengan sahabat kalian itu? Haha, cerita ini aneh, bukan? Memiliki alur
yang berantakan. Baiklah, sudah cukup membicarakan masa laluku yang suram…
Sungguh
aku begitu tidak yakin bisa menjadikan kalian sebagai tempat aku mengadu selain
Tuhan dan orangtuaku. Kamu yang dulunya musuhku. Kamu yang dulunya aku tidak
ingin kenal. Kita yang dulu saling kenal tetapi tidak tertarik untuk saling
menyapa lebih jauh, atau kamu yang pernah jadi orang penting di hatiku. Apa
menurutmu yang sedang terjadi, sahabat-sahabatku? Hey, kita sedang tertawa oleh
sebuah lelucon konyol. Mungkin bagi kita, tetapi tidak bagi orang lain di sekitar
kita yang mengira kita abnormal menertawakannya. Mengapa? Mereka mengira itu
sama sekali tidak penting untuk ditertawakan.
Kembali
lagi, tentang kita yang memiliki kisah bersama. Aku ingin menantang kalian
untuk menaruh masa lalu kita dan masa sekarang kita bersebelahan? Bagaimana?
Apa kalian berani mencobanya? Mungkin tidak, mengingat betapa malunya kita
setelah kita mencoba mengingat kembali sebuah pertengkaran, kebencian,
permusuhan konyol yang pernah kita lakukan dulu lalu membandingkannya dengan
tertawa kita yang sekarang.
Alam
mempunyai kisah sendiri. Tuhan mempunyai begitu banyak kisah yang akan
diletakan-Nya pada masing-masing kita. Sungguh, dunia ini begitu ajaib, aneh,
namun nyata. Bagaimana tidak untuk beberapa individu yang masa lalu dan
sekarangnya begitu berbeda? Hubungan yang aneh, memang. Tapi, ternyata itu
terjadi pada masing-masing kita, sahabat-sahabatku.
Dengan
sebuah perjanjian konyol yang aku sendiri jujur masih ragu untuk berjanji, kita
memulai kisah kita sendiri yang sebenarnya Tuhan sudah siapkan. Ingat? Tuhan
hanya menyiapkan, tapi kita sendiri yang menentukan. Kita memang konyol, tapi
buktinya kita masih bersama dengan kekonyolan itu. Bahkan, kita sudah
menyiapkan mimpi-mimpi yang nantinya aka kita wujudkan bersama. Begitu banyak
hingga aku yakin tidak akan mampu menulis semuanya di sini.
Meskipun
banyak, setidaknya pasti hanya ada sebuah mimpi yang mengawali. Bisa aku
nyatakan, bahwa itu mimpi pertama, terbesar, terkonyol, yang mungkin tidak
dapat kita lakukan. Tapi, siapa tahu? Siapa yang tahu bahwa kita tidak bisa?
Siapa yang menyatakan kita tidak bisa? Bahkan kita belum memulainya, bukan? Bagaimana
caranya mengakhiri untuk sesuatu yang belum kita mulai? Bagaimana caranya
mempertegas untuk sesuatu yang belum kita tahu kepastiannya? Lantas, bagaimana
mereka tahu? Yang jelas, perlu aku pertegas, itu mimpi kami, hak kami untuk
bermimpi! Bahkan, meski mimpi kami mustahil untuk dilakukan, itu tetap hak kami
untuk bermimpi, kan?
Aku
ingin bercerita tentang sebuah kisah. Kisah mimpi pertama, terbesar, terkonyol,
yang pernah kami ikrarkan. Aku ingin, tapi tidak mungkin. Tidak mungkin untuk
aku ceritakan. Mengapa? Kalian ingin menanyakan itu, kan? Aku hanya tidak ingin
mengumbar sesuatu yang bahkan kepastiannya aku belum tahu. Kepastian apa?
Kepastian bahwa kami pernah bermimpi akan hal itu. Yang jelas, bagiku mimpi itu
tetap akan menjadi mimpi pertama, terbesar, terkonyol, yang pernah kami
ikrarkan. Baik, semua berawal dari sini…
Aku
tidak tahu mengapa, yang jelas aku sangat sedang memikirkan tentang mimpi itu.
Bukankah, awalnya kami hanya sekumpulan anak manusia yang merasa nyaman saat
bersama-sama? Haha, rasanya lucu sekali untuk sekedar membicarakan tentang
mimpi itu. Lantas, untuk apa kami sama-sama bermimpi untuk itu? Mimpi yang
sama? Mungkin, saat ini aku sedang mencoba untuk menerima orang-orang itu
menjadi sahabat baruku. Sahabat baru? Memangnya, aku punya sahabat lama? Itu sangat
tidak penting untuk dibicarakan.
Kami
pernah berkata bahwa kami ada karena rasa nyaman itu ada di tengah-tengah kami.
Selanjutnya, apakah rasa nyaman itu cukup untuk menjadi sahabat? Aku sungguh
tidak ingin menegaskan sesuatu atas pemikiranku sendiri. Aku sedang berusaha
untuk tidak menjadi egois. Jadi, aku hanya ingin bertanya kepada kalian?
Bagaimana rasanya berdekatan dengan orang yang membuat kalian merasa tidak
nyaman? Apakah kalian bisa bersama-sama dengan orang yang membuat kalian tidak
nyaman? Aku tidak ingin menjawab, aku hanya ingin kalian berpikir tentang
seberapa pentingnya rasa nyaman di tengah-tengah sebuah persahabatan.
Untuk
aku pertegas, kami ada bukan karena kami sekedar ingin tetapi kami ada karena
rasa nyaman untuk saling bersikap terbuka. Perlu juga kalian ketahui, kami
sama-sama mempunyai pengalaman buruk di masa lalu dengan seseorang yang merusak
kepercayaan kami. Kami tahu juga, kami sangat berbeda, angka 8 bukan angka yang
bisa dibilang sedikit untuk menyatukan kesamaan, kami sungguh tidak sama.
Namun,
rasa nyaman yang membuat kami yakin untuk terus ada. Aku menyayangi kalian
entah karena apa. Aku sungguh tidak ingin kehilangan rasa nyaman antara kita,
sahabat-sahabatku. Tolong yakinkan aku bahwa kalian adalah orang-orang terakhir
yang akan aku jadikan tempatku bercerita banyak hal, untuk menertawakan banyak
cerita yang tidak lucu, untuk menertawakan cerita sedih, dan untuk menangisi
hal yang seharusnya membuat kita bahagia. Aku sungguh ingin yakin kepada
ketulusan kalian terhadapku selama ini, aku ingin kalian menjadi sandaran
bagiku.
Aku
mungkin pernah membenci kalian, menghina kalian, memarahi kalian, tapi yakinlah
itu bagian dari rasa sayangku kepada kalian. Itu wujud kasihku untuk kalian,
karena aku tidak tahu cara lain untuk mengungkapkannya, hanya itu.
Kalian
ingat saat kita bukan ditemani oleh lembayung senja tapi malah oleh pekatnya
malam? Kalian ingat saat kita bukan dihangatkan oleh mentari tapi disejukkan
oleh indahnya bulan? Itu hanya bagian kecil dari begitu banyak yang pernah
terjadi antara kita, dan aku ingin sekali itu yang menjadi alasan kita untuk
bersama sampai sekarang dan kapanpun.
Ada
begitu banyak kebencian yang pernah hadir di hati masing-masing dari kita, aku
yakin itu. Tapi, bukankah kebencian, permusuhan, keegoisan itu adalah cara kita
untuk lebih mengenal kepribadian masing-masing? Sesuatu itu muncul ada sebab
dan akibat, bukan? Begitu juga kita. Apapun sebab yang pernah terjadi, yang
jelas itu sudah berlalu dan yang terpenting kita sudah menjadi kita. Apapun
yang akan menjadi akibat adanya kita, aku yakin kita bisa melewatinya
bersama-sama.
Persahabatan
kita seperti angka 8. Meski berliku, tetap tidak berujung dan berakhir. Aku
sayang kaliaaaaaannnnnnnnnn…
Created by: Novita Lesyani (19 Nov 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ask Us Here:)